24 Des 2017

LGBT: ANTARA TAKDIR TUHAN ATAU KEHENDAK MANUSIA

Oleh. Dr. Azi Ahmad Tadjudin, M.Ag
(Mudir Ma’had Uswatun Hasanah Purwakarta)

Mencermati isu tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual & Transgender) yang sedang ramai dibicarakan via media sosial pasca vonis Mahkamah Kosnstitusi, ada argumentasi menarik dari pihak kubu pro LGBT yang menyatakan bahwa, seseorang menjadi gay atau lesbian itu merupakan kehendak Tuhan yang harus dihargai dan diberikan ruang oleh negara hingga mereka tidak merasa ‘terzhalimi’ keberadaannya. Seperti itulah kurang lebih argumen kelompok pro LGBT yang diungkapkan dalam program diskusi yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta nasional. 

Pada prinsipnya, para pendukung LGBT menolak dengan berbagai cara atas upaya kriminalisasi terhadap perbuatan kaum Nabi Luth itu, dan salah satu argumentasi bentuk penolakannya selalu dikaitkan dengan hak asasi manusia dan takdir Tuhan.  

Pertanyaan yang muncul selanjutnya, benarkah manusia ‘dipaksa’ Tuhan untuk melakukan perbuatan baik dan buruk, atau memilih salah satunya? 

Landasan berfikir para pendukung LGBT sebenarnya tidak murni pemikiran mereka, sebab secara historis ide dasar pemikiran itu sudah ada sejak abad ke-2 Hijriyah. Polemik tentang apakah Tuhan menciptakan manusia dengan perbuatannya, telah melahirkan tiga kelompok aliran kalam dalam sejarah pemikiran Islam. 

Perbuatan manusia ‘dipaksa’ oleh Tuhan bahkan perbuatan manusia seperti bulu yang diterbangkan angin kemana saja ia pergi. Itulah pendapat kelompok Jabariyyah yang berbeda secara diametral denga pendapat Mu’tazilah yang berpendapat sebaliknya bahwa manusia sendirilah yang mencipatakan perbuatan itu. 

Untuk mengkompromikan dua kubu aliran kalam di atas, lahirkan kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah menyatakan bahwa manusia itu memliki kasb al-Ikhtiyâri (kehendak manusia yang dipenuhi Allah). 

Berdasarkan polarisasi pemikiran kalam di atas, ide dasar pemikiran kelompok LGBT dan pendukungnya adalah Jabariyyah, namun karena tuntutan zaman, ide itu mulai ‘terkontaminasi’ oleh pemikiran teologi Mu’tazilah karena tuntutan agar dilindungi dan dimaklumi oleh negara.  

Begitulah kurang lebih gambaran apologi pelaku dan pendukung LGBT jika dikaitkan dengan konsep dasar hukum perbuatan manusia dalam prespektif pemikiran Ilmu Kalam. 

Polemik tentang hukum perbuatan manusia sebenarnya bagian dari pembahasan Qadha dan Qadar dalam Ilmu Kalam. Inti persoalan utama polemik itu sesungguhnya dapat diselesaikan jika hukum perbuatan manusia itu dikaitkan dengan pahala dan dosa. 

Hukum perbuatan manusia jika dikaitkan dengan pahala dan dosa, terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama yaitu perbuatan yang dikuasai manusia, dan kedua perbuatan yang menguasai manusia (Nabhani, Nizham al-Islam, hal.18-20). Kategori perbuatan yang menguasai manusia yaitu perbuatan/kejadian yang tidak ada campur tangan manusia sedikitpun, baik perbuatan/kejadian itu berasal dari dirinya atau orang lain. 

Perbuatan/kejadian kategori pertama ini terbagi menjadi dua bentuk: Pertama: kejadian yang ditentukan oleh Sunnatullah (Nizham al-wujud) seperti: hidup dan mati, bentuk tubuh, warna biji mata, keturunan dll. Kedua: kejadian yang tidak ditentukan oleh Sunnatullah, namun tetap diluar kekuasaan manusia yang tidak dapat dihindarinya, seperti: seseorang terjatuh dari atas tembok lalu menimpa orang lain hingga mati, kecelakaan pesawat terbang, kecelakaan mobi, kecelakaan kereta dan sebagainya. 

Atas segala bentuk kejadian yang menimpa manusia yang itu merupakan bukan kehendak manusia tapi semata-mata keputusan Allah, dinamakan Qadha (keputusan Allah). Setiap keputusan Allah (Qadha) yang ditimpakan kepada manusia suka ataupun duka; baik atau buruk, dan keputusan itu sama sekali bukan kewenangan manusia, maka perbuatan itu tidak akan dimintai pertanggungjawaban dihapan Allah kelak. 

Artinya, jika kita menjadi orang Sunda, atau orang Jawa, kita tidak akan dihisab karena status itu, karena itu semua merupakan ketetapan (Qadha) dari Allah secara mutlak. Berbeda dengan Qadar, bahwa ia merupakan ketentuan Allah yang menimpa kepada benda-benda, naluri dan kebutuhan jasmani. 

Ketiga unsur itu memiliki kadar, sifat dan potensi masing-masing. Seperti contoh, api diciptakan dengan sifat dan potensi membakar. Pisau diciptakan dengan sifat dan potensi memotong. Manusia diciptakan memiliki naluri untuk menyalurkan dorongan seksual. Kebutuhan jasmani seperti makan, minum, muamalah dan yang lainnya. dari semua kadar, sifat dan potensi yang diciptakan Allah pada benda-benda dan manusia itu, semuanya berpeluang menjadi nilai ibadah atau dosa sangat bergantung pada manusia dalam memanfaatkan dan menggunakan potensi tersebut. 

Apabila potensi-potensi tadi dimanfaatkan manusia mengikuti perintah Allah, maka akan bernilai padaha; namun sebaliknya jika tidak, akan bernilai dosa. Artinya, akal manusialah yang menentukan pilihan dalam memanfaatkan potensi-potensi yang telah Allah ciptakan pada setiap benda, naluri dan kebutuhan jasmani manusia, sebab Allah telah mengilhamkan kepada manusia potensi takwa (taat) dan fujur (membangkang). 

Berdasarkan uraian panjang di atas, maka LGBT merupakan pilihan manusia yang termasuk wilayah perbuatan yang dikuasainya. Sebab ia menyalahgunakan potensi yang diberikan Allah beruapa naluri seksual (zina) dengan cara yang diharamkan oleh norma agama. Bentuk penyimpangan terhadap norma agama karena telah menyalahi kodrat dan fitrah manusia yang diciptakan Allah swt. serta melakukan penyimpangan penyaluran seksualitas dengan cara zina yang dikecam oleh Allah dengan istilah fâhisyah (kekejian). 

Sebagai upaya antisipasi negara dalam mencegah wabah penyakit LGBT di tengah-tengah masyarakat, maka negara harus secapatnya mengambil tindakan hukum dengan tegas, seperti ketegasan tindakan hukum dalam Islam dalam memberantas penyakit LGBT, jika tidak maka tindakan hukum akan datang dari Pemilik Alam Semesta ini. Dialah Allah Subhanahu Wata’ala, Na’ûdzubillah

 فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ
 
“Tatkala datang azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hud: 82).

Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Disqus Comments