Oleh: Dr. Azi Ahmad Tadjudin, M.Ag.
(Ketua Komisi Fatwa MUI Purwakarta)
Setiap aturan memiliki syarat dan ketentuan. Dalam bahasa agama dikenal dengan kaidah al-Hukm Yadûru ma’ al-‘illah wujûd[an] wa ‘adam[an] artinya "aturan hukum akan berlaku sesuai dengan syarat dan ketentuannya".
Misalnya, shalat itu wajib hukumnya bagi seorang muslim yang telah memenuhi syarat, baik syarat wajib maupun syarat sah-nya shalat. Jika syarat dan ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka kewajiban tersebut tidak berlaku. Dalam istilah Ushul Fiqih, aturan hukum di atas dikenal dengan istilah Hukum Taklîfy, sedangkan syarat dan ketentuannya dikenal dengan Hukum Wadh’î.
Sederhananya, Taklifi adalah aturan dan ketentuan yang mengikat seorang mukallaf seperti wajib, al-Nadb (sunnat), Harâm, Karâhah (makrûh) dan Ibâhah (boleh). Sedangkan syarat dan ketentuan pelaksanaannya dinamakan Hukum Wadh’i.
Hukum Wadh’i dalam ushul fiqih membahas kaidah tentang bagaimana hukum tersebut diterapkan (tathbîq). Misalnya, orang yang sakit dihukumi berbeda dengan orang yang sehat. Sehat dan sakit dinamakan kondisi dan keadaan seorang Mukallaf. Maka berdasarkan kondisi dan kedaan itulah, Hukum Taklifi berbeda dalam memperlakukannya.
Contoh lainnya, hukum berpuasa wajib bagi seorang muslimah yang memenuhi syarat, tapi sebaliknya berpuasa haram hukumnya bagi seorang muslimah yang sedang menstruasi (haidh).
Ilmu ushul fiqih menyebut kondisi dan keadaan pelaksanaan hukum dengan istilah Sabab (penyebab), Syarath (ketentuan), Mâni’ (penghalang), Rukhshah-Azîmah (situasi kondisi) serta Shihhah-Buthlân (sah dan batal). Hukum Taklify mengikat bagi setiap Mukallaf, namun dalam tataran teknis penerapannya tergantung pada situasi, kondisi serta keadaan kapan dan bagaimana hukum itu diterapkan.
Cara pandang seperti itulah yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim dalam menempatkan kedudukan hukum fiqih.
Aturan-aturan fiqih bersifat praktis yang bersumber dari dalil-dalil tafshili (terperinci) yang dihasilkan memalui Ijtihad, memiliki prinsip mudah, tidak menyulitkan, dan sangat manusiawi. Hal tersebut berbeda dengan aturan-aturan manusia yang bersifat kaku, menyulitkan dan membebani.
Maka, apabila hukum fiqih sebagai produk ijtihad dianggap repot dan menyulitkan, keadaan tersebut terjadi karena sudut pandangnya yang salah dalam medudukkan hukum fiqih.
Kesalahan fatal itu terjadi karena fiqih dihukumi oleh fakta dan keadaan kita, bukan faktanya sendiri yang dihukumi oleh fiqih. Kondisi yang sama juga berlaku pada fatwa agama yang merupakan produk ijtihad para ulama.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situsi Terjadi Wabah Covid-19 merupakan hasil ijtihad kolektif para ulama dalam menjawab permasalahan hukum yang diajukan oleh mustafti (peminta fatwa) dalam menghadapi wabah Virus Corona.
Fatwa tersebut menjelaskan tentang cara penerapan hukum dalam kondisi dan keadaan yang tidak normal. Artinya, fatwa di atas merupakan kaidah bagaimana hukum itu dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang mengikutinya. Sehingga Fatwa MUI secara formil dan materiil sudah tepat dan benar.
Jika fatwa tersebut menimbulkan gaduh di tengah-tengah masyarakat, maka yang salah bukan fatwanya, tetapi cara pandangnya. Karena fatwa dihukumi oleh situasi bukan sebaliknya, fatwa yang menghukumi situasi dan kondisi.
Pro-kontra terhadap fatwa semestinya tidak terjadi jika umat Islam memagang teguh prinsip dalam fiqih yaitu, "sepakat dalam perbedaan".
Wallahu A’lam bi Shawab.