7 Apr 2020

Subjektivitas Akal Menurut al-Ghazali (Filsafat Hukum Islam dalam kitab al-Mustashfaa Min 'Ilm al-Ushul)

Oleh: Dr. H. Azi Ahmad Tadjudin, M.Ag.
(Mudir Ma'had Uswatun Hasanah Purwakarta)

Jika mengandalkan pikiran dan perasaan manusia, baik-buruk seseorang cukup diukur melalui penampilan, paras wajah, tutur kata, sikap dan tindakan. Sesuatu akan dianggap baik jika menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya, sebaliknya sesuatu akan dianggap buruk jika bertentangan dengan pendapat dan keinginannya.

Jika tolak ukur kebenaran bersandar pada akal dan nafsu, maka objektivitasnya hanyalah sekumpulan subjektivitas yang disepakati saja. Pada akhirnya, kebenaran ditentukan oleh kekuatan, kekuasaan dan kedekatan saja, sementara kebenaran objektif hanya sebatas impian dan angan-angan belaka.

Jika tolak ukur kebenaran bersandar pada akal dan nafsu, niscaya semua orang akan mengatakan bahwa syaitan dan Iblis itu baik. Karena mereka selalu memenuhi setiap keinginan dan nafsu manusia, hingga manusia tidak percaya ketika Allah Subhanahu Wata'la menjelaskan dalam al-Qur'an bahwa bisikan syaitan itu jahat dan berbahaya (syarr al-waswaas al-khannaas).

Jika akal dan nafsu manusia sudah dikendalikan oleh syaitan, maka setiap perintah agama akan dijauhi, ditinggalkan bahkan dianggap ancaman. Kebenaran ajaran Islam akan dianggap relatif, yang absolut adalah kebenaran akal dan hawa nafsu. Jika sudah demikian, maka yang benar akan dianggap salah dan yang salah dianggap benar.

Karena akal dan nafsu manusia bersifat labil, subjektif dan memihak, maka pada kondisi itulah peran akal tidak memiliki otoritas untuk membuat hukum dalam Islam. Maka hanya Allah saja pemilik kedaulatan hukum yang bersifat objektif, final dan mengikat (al-'aql laa yastaqillu bi Dark al-Ahkaam).

Pertanyaannya, mengapa hanya Allah yang berhak membuat hukum bagi manusia? Karena Dia-lah selaku Pengatur, Penguasa dan Tuhannya manusia.

Andai saja kewenangan hukum diserahkan pada akal dan nafsu manusia, niscaya manusia akan menghukumi kejam terhadap hukum Qishash; tidak adil pada hukum waris karena membedakan bagian antara hak laki-laki dan perempuan; kuno ketika seorang istri tidak menjadi wanita karir; fundamentalis bagi seorang muslim yang paripurna menerapkan Islam dalam bingkai kehidupan bernegara; serta radikal bagi orang yang mengatakan bahwa Jihad dan Khilafah bagian dari ajaran Islam.

Oleh karena itu, hanya karena mereka sering memberikan bantuan, menolong ketika dalam keadaan sulit, memberikan pinjaman dana dalam keadaan krisis, mengikuti nasihat dan saran dalam bidang ekonomi dan politik, masihkah kita percaya terhadap propaganda dan tipu daya orang-orang kafir?

Bukankah Allah adalah sebaik-baiknya Penolong dan Ajaran Islam satu-satunya sistem kehidupan yang membawa rahmat bagi alam semesta ini?

Pada akhirnya, semoga kita dapat mengambil pelajaran melalui wabah virus corona yang saat ini sedang melanda negeri kita dan penduduk dunia.

Allah Subhanahu Wata'la berfirman:
"Sungguh Allah tidak malu membuat perumpamaan berupa seekor nyamuk atau hewan yang lebih kecil daripada itu. Orang-orang beriman meyakini bahwa perumpamaan itu benar datang dari Tuhan mereka. Adapun orang-orang kafir akan berkata: "Apa yang dikehendaki oleh Allah dengan memberikan perumpamaan semacam ini?" Banyak manusia menjadi sesat karena tidak memahami makna perumpamaan ini. Sebaliknya banyak pula manusia yang mendapat hidayah karena perumpamaan itu. Hanya orang-orang fasiklah yang salah dalam memahami makna perumpamaan itu." (Ustadz M.Thalib, al-Qur'an Tarjamah Tafsiriyyah, hal.5)

Wallaahu A'lam bi shawab.
Disqus Comments