Oleh: Dr. H. Azi Ahmad Tadjudin, S.HI., M. Ag.
(Ketua Komisi Fatwa MUI Purwakarta)
Tradisi mudik sudah menjadi budaya rutin tahunan masyarakat Indonesia. Mudik di Indonesia identik dengan lebaran, sehingga mudik seakan tak dapat dipisahkan dengan lebaran.
Dalam kacamata teologi, mudik adalah istilah budaya sebagai pengganti dari istilah silaturrahim. Budaya mudik memiliki landasan teologis yang kuat dalam ajaran Islam, oleh karenanya budaya mudik merupakan ekspresi teologis seorang muslim terhadap ajaran agamanya.
Terlebih setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan satu bulan lamanya, maka di hari kemenangan yaitu idul fitri itulah momentum spesial untuk saling memaafkan antar individu dengan keluarga besar, sekaligus media untuk mencurahkan kerinduan yang sempat hilang ditelan aktivitas kesibukan rutin bekerja, bahkan sekian lama meninggalkan kampung halaman tercinta demi mencari nafkah.
Ikatan yang kuat terhadap kampung halaman inilah yang sesungguhnya menjadi fitrah setiap manusia akan kembali kepada tanah kelahiran dimana ia berasal. Maka melalui dua alasan kuat itulah –teologis dan fitrah manusia— tradisi mudik sudah menjadi aktivitas tahunan yang tak dapat dipisahkan dengan momentum lebaran.
Mudik menjadi momen yang indah ketika kebutuhan sosial itu dilayani dengan baik oleh pemangku kebijakan layanan transportasi publik dengan professional dan mengindahkan standar keamanan serta kenyamanan para pemudik. Transportasi menjadi alat yang paling penting bagi pemudik untuk sampai pada tujuan dengan selamat. Transportasi darat, laut dan udara merupakan jasa yang telah disediakan pemerintah untuk para pemudik dari masa ke masa sejak awal diciptakan teknologi transportasi hingga sekarang. Dari kendaraan pribadi sampai kendaraan umum menjadi teman setia para pemudik sebagai media untuk mewujudkan kerinduan pada kampung halaman.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi transportasi, serta perkembangan infrastruktur yang terus ditingkatkan, tradisi mudik semakin ‘dimanjakan’ dengan berbagai fasilitas teknologi kendaraan modern, sehingga para pemudik mendapatkan kemudahan, kenyamanaan serta efisiensi waktu dalam menempuh perjalanan.
Dengan adanya kendaraan bermotor yang nyaman, serta ditunjang dengan jasa layanan publik memadai, maka mudik menjadi tradisi favorit tahunan yang menyenangkan. Sebab setiap pemudik akan merasakan kenyamanan dalam perjalanan hingga yang jauh terasa dekat, yang bosan terasa nyaman, dan yang lama terasa sebentar.
Namun disisi lain, pasca diberlakukannya kebijakan pemerintah melalui Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/10/2010 tentang ketentuan impor barang jadi oleh produsen, populasi kendaraan bermotor di Indonesia tembus hingga 104,2 juta unit pada tahun 2013.
Populasi terbanyak disumbang oleh sepeda motor dengan jumlah 86,253 juta unit di seluruh Indonesia dan naik 11 persen dari tahun sebelumnya (korps lalu lintas Kepolisian Republik Indonesia, dikutip dari otomotif.kompas.com). Data Asosiasi Industri Sepeda Motor (AISMI) menunjukkan peningkatan pembelian sepeda motor selama lima tahun terakhir (2007-2011), angka sepeda motor tumbuh rata-rata sebesar 15 persen per-tahun.
Dampak dari peningkatan pembelian sepeda motor, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Jabodetabek Urban Transportation Integration (Jupti), menunjukkan selama kurun waktu 2002-2010 pengguna angkutan umum merosot tajam dari 5,3 persen (2002) menjadi 2,3 persen (2010), sementara pengguna sepeda motor meningkat drastis 21,2 persen (2002) menjadi 48,7 persen (2010).
Peralihan jasa dari pengguna kendaraan umum pada sepeda motor secara massif, menunjukkan bahwa pengguna sepeda motor dari tahun ke tahun meningkat tajam, maka dari peningkatan penjualan itu melahirkan dampak sosial baru yaitu meningkatnya angka kecelakaan menimpa pengendara roda dua.
Menurut Posko Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu 2012 menyatakan data kecelakaan lalu lintas sepeda motor dari H-7 sampai H+3 menelan korban 641 orang meninggal dunia, 1031 luka berat, 3444 luka ringan. Sedangkan data terakhir berdasarkan laporan Kemenhub menyatakan bahwa jumlah kecelakaan lebaran 2015 menurun dari tahun sebelumnya.
Menurut data pusat komunikasi publik Kementerian Perhubungan, jumlah kecelakaan pada hari lebaran 2015 sebanyak 247 kasus, turun 82 persen bila dibandingkan tahun 2014 yaitu 1396 kasus. Korban tewas pada lebaran tahun 2015 sebanyak 53 orang dari tahun lalu 310 orang di hari lebaran (viva.co.id).
Meningkatnya pembelian kendaraan bermotor setiap tahun, melahirkan dampak sosial yang berimbas pada tingkat kecelakaan lalu lintas terutama saat mudik lebaran. Sehingga suasana idul fitri yang sejatinya menjadi momen bahagia bersama keluarga di kampung halaman, berubah menjadi suasana duka dengan tangisan dan kesedihan akibat kehilangan anggota keluarga yang terenggut nyawanya karena kecelakaan lalu lintas saat mudik lebaran.
Harapan mereka bisa berkumpul diselimuti canda tawa bersama keluarga besar di kampung, serta keinginan menikmati hidangan ketupan yang disiram bumbu opor dan semur daging khas lebaran masakan khas orang tua, serta menikmati suasana kampung nan asri dengan kesejukan udara yang segar, harapan itu semua harus kandas dihantam ajal kematian ditengah hingar bingar perjalanan mudik lebaran yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.
Bahkan yang lebih tragis dari kejadian itu, seorang anak harus terpaksa menyandang status yatim karena kehilangan orang tua nya.
Siapa pun di dunia ini, tidak ada orang yang ingin kehilangan momentum kebahagian di hari nan Fitri berkumpul bersama sanak saudara menikmati kebahagiaan bersama di kampung halaman. Namun jika memang ajal seseorang harus tiba saat lebaran sebagai korban kecelakaan lalu lintas, maka itulah Qadha (ketetapan Allah) yang tidak dapat ditangguhkan walau hanya sesaat dalam kedipan mata yang harus diterima dengan sabar dan ikhlas oleh siapapun, sebab itulah wujud keimanan kita pada Qadha dan Qadar.
Namun persoalan yang harus diupayakan bersama agar mudik selamat sampai tujuan, itulah usaha manusia yang kelak akan dihisab dihadapan Allah swt. Oleh karena itu, untuk mewujudkan harapan bersama tersebut, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak baik para pemudik pengguna kendaraan bermotor, aparat kepolisian dan pihak pemerintah yang dalam hal ini kementrian perhubungan yang memiliki otoritas sebagai penyelenggara transportasi publik dengan aman dan nyaman.
Ada dua pendekatan untuk mewujudkan mudik agar selamat sampai tujuan, yaitu pendekatan kesadaran hukum dan pendekatan teologis.
Secara hukum, pemerintah melalui UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkatan jalan telah mengatur sedemikian rupa sebagai upaya siyasah syar’iyyah agar tercipta keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna lalu lintas dan angkatan jalan. Dalam undang-ungang itu diatur tentang tiga hal yaitu manusia, kendaraan dan jalan.
Oleh karena itu, bagi para pemudik diupayakan agar memahami dengan baik undang-undang di atas sebagai upaya maksimal agar terhindar dari kecelakaan lalu lintas. Jakarta Transportation Watch (JTW) melansir hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada tiga faktor yang membuat kecelakaan lalu lintas kerap terjadi pada musim lebaran, yaitu (1) menurunnya konsentrasi pengemudi, (2) kelalaian dan keselamatan kendaraan yang buruk dan (3) kelalaian jalan yang kurang memadai.
Jika kesadaran hukum belum terbangun baik oleh pengguna kendaraan dan pemangku kebijakan penyelenggaran pelayanan publik, maka pendekatan teologis merupakan alternatif kedua untuk membangun kesadaran hukum. Hal ini ditempuh mengingat para pemudik adalah kaum muslimin yang terikat hukum dengan agamanya, yaitu Islam.
Paling tidak jika kita ingin menyentuh kesadaran hukum para pemudik dan para pemangku kebijakan publik, ada baiknya didekati melalui jalur teologis, semisal Kepolisian Republik Indonesia membentangkan spanduk di setiap ruas jalan utama dengan isi pesan yang diambil dari Hadits nabi, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”, atau bahasa lain, “Dosa besar bagi Anda yang ngantuk dan Melalaikan Keselamatan kendaraan.” Atau “Tertib Lalu Lintas Refleksi ketakwaan Anda” dan beberapa pesan lain yang bernuansa agama yang digali dari pesan al-Qur’an dan hadits.
Dan tidak kalah penting juga pesan yang sama ditujukan bagi pemerintah agar senantiasa bertanggung jawab memberikan rasa aman dan nyaman bagi para pemudik melalu nasihat agama yang sama seperti, “Hancurnya dunia lebih ringan di Sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.”
Atau pernyataan sahabat Umar bin Khatab, “Demi Allah, seandainya seekor keledai terperosok jatuh lantaran jalan yang dilaluinya rusak aku takut akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di hari kiamat.”
Akhir kata, selamat mudik semoga selamat sampai tujuan.
Wallahu A’lam...