24 Mei 2018

Puasa Ramadhan dan Perubahan Sosial


Oleh: Dr. Azi Ahmad Tajudin,S.HI., M.Ag.
(Mudir Ma’had Uswatun Hasanah Purwakarta)

Ada dua dimensi yang selalu menyertai tasyri’ (Proses lahirnya hukum Islam) dalam al-Qur’an, yaitu dimensi teologis dan sosiologis. Kedua dimensi itu harus difahami secara utuh, sehingga dengan memahami keduanya, syariat dalam Islam tidak akan kehilangan jati dirinya sebagai ‘ruh’ yang akan selalu hadir dalam setiap fase kehidupan sosial umat Islam.

Karena secara historis kelahiran hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari masalah sosial masyarakat yang saat itu terjadi. Atas dasar itulah, Allah swt. menurunkan syariat kepada nabi Muhammad saw, sebagai nabi dan rasul yang membawa syariat baru atau meluruskan penyimpangan pelaksanaan syariat nabi sebelumnya.

Puasa Ramadhan pada awal disyariatkannya tidak lepas dari dimensi sosial yang hendak diraih yaitu ketaatan dan kepatuhan pemeluk agama terhadap perintah Allah secara total tanpa syarat apapun. Muhammad Ali al-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan bahwa salah satu alasan mengapa puasa Ramadhan diperintahkan kembali kepada umat Nabi Muhammad saw. karena umat terdahulu selalu saja setiap kali kewajiban puasa akan dilaksanakan, mereka mencela dan melakukan banyak permintaan dan pilihan sebagai wujud protes atas kewajiban tersebut.

Contohnya, ketika kewajiban puasa diperintahakan pada musim panas kepada Ahli Kitab, mereka keberatan dan meminta ditangguhkan pelakasanaanya pada musim dingin. Kemudian ketika musim dingin tiba, mereka juga malah minta ditangguhkan kembali pada musim semi dengan berbagai alasan yang dibuat-buat.

Begitupun ketika Allah mewajibkan selama tiga puluh hari puasa, mereka malah meminta lebih lama lagi dari waktu yang sudah ditentukan. Begitulah kurang lebih gambaran sosiologis kadar keimanan umat sebelum kita, sehingga ketaatan menjadi pesan utama dibalik syariat kewajiban puasa kepada orang yang beriman agar meraih predikat takwa.

Kehadiran puasa Ramadhan akan terasa hampa jika kaum muslimin tidak mengahadirkan kembali ‘ruh’ puasa Ramadhan dalam dimensi sosial masyarakat sebagai solusi menyuluruh atas permasalahan bangsa yang sedang kita hadapi saat ini.

Sikap pengabaian terhadap paradigma di atas hanya akan melahirkan ibadah yang hampa akan nilai, alih-alih dapat mencegah kemunkaran yang merebak di tengah-tengah masyarakat, yang ada kemunkaran dalam dirinya saja nyaris tak tersetuh oleh ibadahnya. “Puasa terus maksiat jalan,” itulah stigma negatif yang mewakili hampir setiap ibadah yang dilakukan kaum muslimin saat ini ditengah tengah kemaksiatana merajalela dimana-mana.

Kehadiran puasa Ramadhan seakan menjadi puasa ‘seremonial’ tahunan saja yang tak ada bedanya dengan pergantian musim yang silih berganti hadir setiap tahun tanpa membawa makna dan perubahan yang berarti bagi kehidupan bangsa ini. Kondisi inilah yang paling dikhawatirkan oleh baginda kita menimpa umat akhir zaman sebagaimana sabda beliau,

كم من صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش

“betapa banyak orang yang puasa, tapi tidak ada nilai yang diraih kecuali lapar dan dahaga.”(HR. Ibnu Majah)

Oleh karena itu, agar puasa yang kita laksanakan bernilai pahala di sisi Allah swt. dan menjadi perisai (junnah) dari segala bentuk dosa dan maksiat, maka puasa Ramadhan harus dilandasi dengan dasar Iman dan keridhaan Allah saja.

Wallah A’lam bi al-Shawab.
Disqus Comments