23 Sep 2019

The REAL Santri


Oleh: Dr. KH. Azi Ahmad Tadjudin, M.Ag.
(Pimpinan Pondok Pesantren Uswatun Hasanah, Purwakarta - Jawa Barat)

Kata “santri” tidak bisa berdiri sendiri tanpa kata “kyiai” dan “pondok pesantren,” sehingga dua kata terakhir itu adalah ‘ruh’ dan jati diri seorang santri. Santri merupakan predikat yang disematkan pada orang yang belajar ilmu agama (Islam) di pondok pesantren. Kyai merupakan sebutan bagi seorang guru yang mengajar ilmu agama di pondok pesantren, dan pondok pesantren adalah tempat bagi santri dan kyai berkomitmen ( ma’had ) untuk memperdalam ilmu agama melalui metode talaqqi (tatap muka langsung) secara mulâzamah (intensif) terhadap kitab-kitab klasik ( kutub al-turâts ) secara sistematis.

Islam adalah agama yang bersumber pada teks ( nushûsh ) yaitu al-Qur’an dan hadits, sehingga berangkat dari kedua sumber utama itulah melahirkan teks-teks agama sebagai rujukan tradisi ilmu yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Mempelajari teks hingga melahirkan teks, itulah santri yang sukses menjadi ulama. Maka ciri kesusksesan seorang satri itu ditentukan oleh seberapa banyak sanad ilmu yang telah ia talaqqi -kan pada ulama, seberapa banyak kitab-kitab yang telah dipelajari, di koleksi, di produksi menjadi tulisan yang bermanfaat dibaca oleh ummat dari generasi ke generasi hingga dikenang namanya sekalipun jasadnya telah terbujur kaku ditelan bumi, bukan belajar dan berkhidmat pada kampium negara demokrasi dengan dalih toleransi.

Tradisi Islam adalah tradisi teks, maka mempelajari ajaran Islam berarti mempelajari teks secara literal. Secara diametral, tradisi literal berlawanan dengan tradisi liberal, artinya jika tradisi Islam itu literal, maka liberal itu bertentangan dengan Islam. Kitab kuning merupakan bentuk tradisi literasi sekaligus sebagai khazanah ilmu bagi kalangan pondok pesantren di Indonesia. Melalui kita-kitab itulah, seorang kyai melalukan transformasi ilmu pada santrinya secara mutawatir(berkelanjutan) melalui metode tilâwah , tazkiyah dan ta’lîm .

 Tilâwah berarti seorang kyai membaca teks-teks kitab yang sedang diajarkan, sedangkan santri menyimaknya dalam bentuk balagan (umum) atau sorogan (privat), bukan model ceramah tanpa rujukan kitab hingga mengundang perhatian santri memperhatikan wajah kyai. Pendekatan metode ini secara tidak langsung mengajarkan tentang konfirmasi ilmu. Artinya seorang santri diajarkan oleh sang kyai tentang konfirmasi kebenaran ilmu yang telah disepakati oleh ulama-ulama sebelumnya, yang selanjutnya diajarkan kembali (ditransmisi) konsep kebenaran itu pada generasi selanjutnya, sehingga melalui konsep talaqqi ini, kebenaran dan keaslian ajaran Islam terkonfirmasi secara mutawatir dari generasi ke generasi berikutnya melalui ‘kejujuran’ teks dan makna-makna yang terkandung di dalamnya, sehingga kemurnian ajaran Islam tetap terjaga dari penyimpangan dan pembajakan orang yang memalingkannya.

Berangkat dari tilawah tekstual inilah, seorang santri akan dibersihkan ( tazkiyyah ) keyakinan, ucapan dan tindakannya. Dari sinilah, seorang santri akan memiliki akhlak dan adab yang baik serta islami. Taat beribadah, hormat pada guru dan sopan terhadap teman-temannya. Komitmen dan berpegang teguh pada ajaran Islam dan menghindari perbuatan ma’siyat seperti khalwat (pacaran), karena kema’siatan itulah yang akan menghalangi pancaran cahaya ilmu merasuk ke dalam relung hatinya hingga dialirkan oleh darah ke dalam seluruh tubuhnya yang akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya.

Setelah melewati kedua fase di atas, maka fase selanjutnya yaitu belajar ( ta’lîm ). Kesuksesan seorang santri dalam mempelajari ilmu agama, tidak hanya bergantung pada proses ta’lim yang melibatkan kecerdasan dan kesungguhan usaha belaka, tapi ada peran serta Allah swt. Sebagai pemilik ilmu yang sesungguhnya. Maka kaidah adab sebelum ilmu dan amal menjadi kaidah dan prinsip utama bagi seorang santri.

Jadi, ‘the real santri’ adalah orang yang menjaga kehormatan ( tir[un] ‘an al-Uyub]), calon pengganti para ulama ( Nâ’ib[un] ‘an al-Ulamâ), orang yang selalu bertaubat dari dosa ( Tâ’ib ‘an al-Dzunûb), pecinta ilmu ( Râghib[un] fi al-‘Ilm), Ikhlas dalam beramal ( Ikhlâsh Fî al-‘amal).
Disqus Comments