10 Jan 2018

Menghidupkan Kembali Ruh Dunia Pendidikan


Oleh: Dr. Azi Ahmad Tadjudin, M.Ag.
(Mudir Ponpes Uswatun Hasanah Purwakarta)

Dalam ilmu Ushul Fiqih, ada dua istilah yang sudah sering kita dengar yaitu manthuq dan mafhum. Kedua istilah tersebut merupakan petunjuk yang terkandung dalam aturan tertulis (legal system) atau undang-undang (qanun). Jika petunjuk itu dipahami berdasarkan rangkaian kalimat secara tersirat (tekstual) maka disebut manthuq; sedangkan jika dipahami secara tersurat, maka disebut mafhum (kontekstual). Pendekatan manthuq cenderung lebih mudah difahami dibandingkan dengan mafhum dalam memahami makna hukum. Oleh karena itu, para ahli ushul (ushuliyyun) telah menetapkan kaidah-kaidah umum untuk memahami suatu hukum dengan pendekatan mafhum.

Sebagai contoh, konsep diatas secara aplikatif dapat diterapkan terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Secara tekstual (manthuq), fungsi dan tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) bab II pasal 3 yaitu:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi secara bertanggung jawab.”

Orientasi pendidikan nasional esensinya adalah –meminjam istilah Ary Ginanjar Agustian- untuk melahirkan manusia yang memiliki kecerdasan IQ, EQ dan SQ. maka sebagai pelaksana untuk memenuhi amanat undang-undang tersebut, pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan formal mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi bagi setiap warga negara. “Mafhum yang dapat diambil dari fungsi dan tujuan pendidikan berdasarkan pasal di atas adalah melahirkan manusia Indonesia yang cerdas, bersungguh-sungguh (mujahadah) dan bekerja keras,” Begitulah menurut pendapat Prof. Dr Juhaya S. Praja (Guru Besar Filsafat Hukum Islam UIN Bandung).

Mungkin sebagian besar para pelajar juga mahasiswa belum memahami bahwa mujahadah (sungguh-sungguh) merupakan salah satu inti yang harus difahami secara tersurat dari tujuan pendidikan nasional. Hal ini terbukti bahwa para peserta didik mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (mahasiswa) masih ada yang beranggapan bahwa sekolah/ kuliah hanya untuk menggugurkan kewajiban (isqâth al-wâjib) atau hanya ingin lulus Ujian Nasional saja. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah anggapan bahwa kuliah hanya sekedar untuk mendapatkan gelar dan prestise saja tanpa menempuh proses pendidikan yang telah ditetapkan oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Maka tidak sedikit output dari lembaga pendidikan hanya melahirkan lulusan yang memiliki gelar akademis ‘formalitas’ saja, tanpa mengindahkan proses pendidikan yang sesungguhnya.

Para pelajar jarang memahami bahwa “sungguh-sungguh” adalah kunci keberhasilan dalam mencari ilmu, terutama bagi para pelajar setingkat sekolah dasar atau tingkat menengah dan atas. Hal ini terjadi karena para pelajar belum mampu menangkap esensi dari sebuah proses pendidikan di sekolah. Akibatnya, diantara mereka masih ada yang mengganggap bahwa sekolah itu sebagai tuntutan orang tua saja sehingga ada yang merasa tertekan dan hasilnya adalah mereka malas dalam belajar, mengabaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru di sekolah dan yang paling berbahaya adalah sekolah dijadikan sarana untuk mendapatkan legalitas formal saja, tanpa mengindahkan proses dalam pendidikan.

Penting kiranya penulis sampaikan dalam artikel ini adalah ungkapan Prof. Dr. Endang Soetari (ketua Program Studi Ilmu Agama Islam Pascasarjana UIN Bandung), bahwa “proses dalam pendidikan adalah pendidikan itu sendiri.” Dari pernyataan singkat tersebut dapat dipahami bahwa seorang pelajar yang tidak mengindahkan proses untuk mendapatkan ilmu maka hakikatnya ia tidak akan mendapatkan ilmu. “proses” menjadi kata kunci untuk meraih keberhasilan dalam pendidikan. Sebagai contoh , orang yang makan pada saat berbuka puasa, tentu akan berbeda dengan orang yang makan biasa. Begitu juga seorang petani yang makan setelah bekerja keras akan terasa lebih nikmat dibandingkan dengan petani yang makan namun tidak bekerja terlebih dahulu.

Dari kedua contoh tersebut, walaupun tujuannya sama akan tetapi berbeda dari sisi proses mendapatkannya dan ini semua akan berimplikasi kepada hasil yang berbeda. Oleh karena itu, sebenarnya kita tidak perlu merasa menyesal bahkan iri jika hari ini banyak sarjana, master bahkan doktor yang dengan mudah mendapatkan gelar tersebut tanpa melalui proses yang benar, karena itu semua akan terlihat dari kualitas akademis sebagai cermin dari sebuah proses pendidikan.

Secara teologis normatif Allah SWT. dalam firmannya banyak memberikan apresiasi pada sebuah proses bukan pada hasil, begitu juga disisi lain Allah sangat membenci seorang muslim yang malas dan tidak menghargai proses. Dalam Surat al-Ankabut [29] : 69 Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) kami, kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Kata mujahadah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata jâhada. Secara qiyasi kata tersebut serumpun dengan kata ijtihad, yang artinya adalah optimalisiasi pengerahan daya upaya seorang mujtahid untuk mengahasilkan hukum syara’ dan produknya dikenal dengan istilah fiqih. Seorang mujtahid yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan hukum akan mendapatkan penghargaan istimewa kata Rasulullah saw., beliau bersabda, “… jika benar mendapatkan dua pahala dan jika salah mendapat satu pahala.” Dari hadis tersebut, nampak bahwa hasil ijtihad sekalipun apabila salah tetap mendapatkan pahala, karena Rasulullah saw. bukan menghargai hasilnya tetapi beliau lebih memberikan apresiasi kepada proses ijtihadnya.

Sekedar contoh saja misalnya, sepanjang hidupnya Imam Abu Hanifah (w. 80-150 H) sudah menyelesaikan sebanyak 500.000 masalah hukum yang dihadapinya. Begitu juga dalam sejarah di kisahkan bahwa Iman Bukhari (allahumma yarham) hafal 300.000 hadits. Subhanallah, begitulah kesungguhan para ulama dalam hidupnya, sehingga sampai hari ini kita mendapatkan warisan intelektual berupa karya-karya yang sungguh sangat berharga.

Mari kita kembalikan proses mendidikan pada khiththah-nya, yaitu menanamkan nilai-nilai semangat dan sungguh-sungguh (mujahadah) sebagai media untuk melahirkan para ilmuwan yang beriman dan bertakwa untuk generasi bangsa di masa yang akan datang.
Disqus Comments