6 Jan 2018

HAB KEMENAG 2018: Momentum Mewujudkan "Harapan Anak Bangsa"

Oleh: Dr. Azi Ahmad Tadjudin, M.Ag.
(Mudir Ponpes Uswatun Hasanah Purwakarta)

Selamat bagi keluarga besar Kantor Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia yang baru saja genap berusia 72 tahun pada tanggal 3 Januari 2018. Semoga kiprah Kemenag kedepan lebih professional dan membanggakan ummat dalam memberikan pelayanan terbaik di bidang keagamaan bagi seluruh umat beragama di Indonesia.

Sebagai seorang anak pensiunan guru Madrasah di lingkungan Kantor Deparateman Agama, penulis merasa terpanggil melalui tulisan ini untuk menggoreskan pengalaman, kesan, pesan dan harapan bagi Kementrian Agama melalui momentum spesial HAB (Hari Amal Bakti) Kemenag di seluruh Indonesia. Semoga tulisan singkat ini mewakili siapapun yang memiliki pengalaman yang sama dengan penulis, sekaligus sebagai bentuk rasa cinta dan kebanggaan penulis pada Kementrian Agama Republik Indonesia.

Sejak usia baligh sampai saat ini, penulis belajar dan bekerja di lembaga pendidikan dibawah Kementrian Agama. Berawal dari Madrasah Tsanawiyah hingga program Doktor (S3), penulis tempuh semua jenjang pendidikan formal di lingkungan Kementrian Agama. Semua pengalaman ini penulis jalani karena tiga faktor, yaitu: faktor ideologis, teologis dan ekonomis.

Secara ideologis, karena ayah penulis bercita-cita memiliki seorang anak yang ahli di bidang agama (ustadz) maka tidak ada pilihan lain kecuali menyekolahkan ke Madrasah sambil nyantri di pondok pesantren salafiyah yang tidak jauh dari madrasah. Melalui kedua lembaga pendidikan agama itulah penulis mengenal disiplin ilmu agama secara ketat dan intensif mempelajari Bahasa Arab, Akidah, Akhlak, Fiqih, Tafsir, Ilmu Hadits dan pelajaran umum yang penulis dapatkan dari Madrasah. Alhamdulillah harapan dan cita-cita orang tua itu kini terwujud.

Secara teologis, lisensi sanad keilmuan tradisi Sunni (Ahli Sunnah Wal Jama’ah) berada pada lembaga pendidikan Madrasah dan Pesantren dibawah Kementrian Agama sebagai representasi Madzhab Syafi’i yang menjadi ciri khas masyarakat muslim Indonesia. Maka alumnus madrasah, pesantren dan perguruan tinggi agama dibawah Kementrian Agama lebih mudah diterima oleh masyarakat Muslim Indonesia karena memiliki madzhab fiqih, teologi dan tasawuf yang relatif sama dengan keyakinan sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia.

Secara ekonomis, lembaga pendidikan seperti madrasah, pesantren dan perguruan tinggi di lingkungan Kemenag biaya pendidikannya terjangkau oleh kalangan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah, hingga dalam satu kesempatan Prof. Dr. Dadang Kahmad selaku direktur Pascasarjana UIN saat itu pernah mengatakan bahwa biaya pendidikan di Pascasarjana UIN Bandung “pang murahna sa alam dunya” (paling murah sedunia). Atas dasar faktor ketiga inilah penulis merasakan ikatan persaudaraan tanpa batas sesama pelajar karena memiliki kesamaan dan latar belakang keluarga yang relatif sama.

Ketika kuliah di IAIN, penulis merasakan budaya santri terbangun di kalangan mahasiswa dengan sifat tawadhu, sopan kepada guru dan prihatin selama kuliah. Tidak sedikit diantara mahasiswa berprofesi sebagai ta’mir masjid, guru ngaji, pedagang, pegawai dan profesi lainnya, apalagi kesan santri yang melekat pada mahasiswa IAIN nampak jelas ketika mereka menjalani wisuda, yang selalu diantar oleh rombongan keluarga sembari menyewa jasa transportasi umum berkapasitas besar untuk memuat keluarga besar sebagai bentuk syukur atas keberhasilan meraih gelar sarjana agama di IAIN.

Pemandangan lain yang tak kalah menarik adalah nasi timbel dan perbekalan makan yang sudah mereka siapkan lengkap dengan lalap dan sambalnya yang langsung disantap pasca prosesi wisuda berakhir, dengan beralaskan tikar dan air teh khas desa yang telah mereka persiapkan untuk menyambut keberhasilan salah satu anggota keluarga yang telah menjadi sarjana.

Begitulah kurang lebih gambaran yang melekat kuat di mata masyarakat Muslim Indonesia terhadap pendidikan agama dibawah Kemenag.

Madrasah pada saat itu -yang dirasakan penulis- masih terkesan sekolah agama yang belum diperhitungkan oleh masyarakat. Salah satu faktor penyebabnya karena madrasah dikelola oleh Kementrian agama yang saat itu namanya Depag (Departemen Agama). Ciri khas lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Departemen Agama saat itu adalah jilbab. Jilbab adalah pakaian wajib bagi guru, pegawai, dan siswi madrasah. Selain itu, ciri khas ‘unik’ lain yaitu celana panjang bagi siswa Madrasah Tsanawiyah.

Dengan kedua identitas itulah, madrasah belum diminati dan diperhitungkan sebagai lembaga pendidikan saat itu dibandingkan dengan SMA dan SMP yang tidak mewajibkan identitas pakaian keislaman, bahkan tidak sedikit masyarakat merasa ‘belum siap’ dengan kedua identitas yang telah diwajibkan oleh madrasah melalui Departemen Agama. Selain itu, pelajar madrasah pun masih ada yang ‘terpaksa’ dan merasa ‘minder’ mengenakan pakaian muslimah dan celana panjang karena berbeda dengan sekolah umum yang jumlah pelajarnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan madrasah.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, alhamdulillah siapapun tidak mengira bahwa identitas keislaman yang diwajibkan Kementrian Agama bagi para pelajar madrasah, saat ini telah menjadi identitas umum dan membudaya di tingkat pelajar umum, guru dan pegawainya. Karena budaya jilbab saat ini sudah menjadi identitas keislaman milik bersama, maka gerakan kesadaran berjilbab itu saat ini nyaris tidak dapat membedakan mana pelajar madrasah dan mana pelajar umum, kondisi itu terjadi karena jilbab bukan milik madrasah lagi. Faktanya, hari ini kita dapat melihat busana muslimah digunakan oleh pelajar umum di setiap jenjang pendidikan, dari mulai TK hingga perguruan tinggi. Oleh karena itu, harapan kedepan bagi Kemenag bisa menjadi lokomotif utama dalam mendakwahkan syiar-syiar Islam di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia. Inilah kontribusi nyata Kementrian Agama yang patut dibanggakan.

Kementrian Agama melalui lembaga pendidikan yang telah dibinanya mampu mengangkat sekaligus menghilangkan sekat perbedaan yang menganga antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Pendidikan agama saat ini tidak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat, sebab secara identitas dan kualitas sudah sejajar dengan pendidikan umum. Perubahan regulasi pendidikan melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, serta upaya maksimal dari Kementrian Agama melalui slogan “lebih baik Madrasah dan Madrasah Lebih Baik” telah mendongkrak sekaligus menggiring mindset masyarakat terhadapnya menjadi lembaga pendidikan berkualitas dan diperhitungkan. Belum lagi perubahan IAIN menjadi universitas menunjukkan bahwa kemampuan manajerial Kementrian Agama semakin berkelas dan tidak ketinggalan oleh Medikbud dan Menristek Dikti dalam mengelola dan mengurus Pendidikan.

Pada prinsipnya, Kementiran Agama telah menyuguhkan lembaga pendidikan agama yang berkualitas bagi masyarakat sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan bekal iman dan takwa serta biaya yang relatif murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat sebagai wadah untuk mewujudkan harapan anak bangsa.

Melalui mandat konstitusi inilah semua amanah dan tanggung jawab negara dalam mengurus bidang keagamaan dibebankan seluas-luasnya pada kementrian Agama. Tidak ada kementrian yang memiliki aset lembaga pendidikan Islam paling besar kecuali Kementrian Agama. Tidak ada kementrian yang memiliki aset pesantren dan ulama kecuali kementiran Agama. Ttidak ada kementrian yang memiliki aset akademisi ahli di bidang agama mulai sarjana hingga professor kecuali Kementrian Agama. Tidak ada kementrian yang memiliki aset data tanah wakaf kecuali Kementrian Agama. Oleh karena itu, keberadaan Kemenag di Indonesia seperti rumah besar umat Islam. Hampir setiap urusan sosial keagamaan pasti berhubungan dengan Kementrian Agama.

Ketika orang mengelak dan berdalih bahwa saya bukan alumnus madrasah, namun saat hendak menikah, pasti ia berurusan dengan KUA (Kantor Urusan Agama). Jika ada orang yang masih mengelak berhadapan dengan KUA dengan dalih cukup menikah secara agama saja (fiqih), ia tidak bisa mengelak ketika akan berangkat haji, karena harus mendaftarkan ONH (Ongkos Naik Haji) melalui Kementrian Agama. Hingga urusan kematian pun tidak dapat dilepaskan dengan urusan agama, karena para Amil (istilah petugas yang mengurus jenazah) dan para penyuluhnya semua dibawah Kementrian Agama.

Karena begitu luas cakupan wilayah urusan Kemenag, maka hampir separuh urusan bangsa ini tidak bisa dilepaskan dengan urusan agama. Maka ketika Kementiran Agama akan dihapuskan, umat Islam tidak terima karena ruh kementrian Agama sudah menyatu dengan umat Islam. Ketika identitas agama akan dihapuskan di kolom KTP, umat marah tidak terima karena agama adalah identitas. Ketika korupsi dituduhkan kepada Kementrian Agama, umat pun merasa malu jika tuduhan itu benar. Dengan demikian, Kementrian Agama di Indonesia di mata umat Islam bagaikan ruh dan jasad yang tidak dapat dipisahkan.

Karena begitu cintanya umat ini pada Kementrian Agama, maka sudah selayaknya Kementrian Agama pun menjadi pembela di garda terdepan dalam memperjuangkan dan menjaga kemuliaan ajaran Islam dan para pengembannya seperti ulama, asatidz dan habaib. Sudah selayaknya Kementrian Agama memperhatikan kesejahteraan kelayakan hidup mereka. Sudah semestinya Kementrian Agama memperhatikan para guru madrasah, penyuluh agama, penghulu dan Amilin yang bekerja dengan slogan “Ikhlas Beramal” melayani masyarakat dengan kendaraan yang layak dan terjaga keselamatan dan kesehatan mereka. Ketika ajaran agama distigmatisasi dengan label radikal dan fundamental, sudah seharusnya Kementrian Agama melalui aset ulama dan kyai di pesantren diajak bicara untuk menjelaskan dan meluruskan penyimpangan itu.

Ketika para ulama dipersekusi, sudah seharusnya kementiran Agama membela dan menjaga mereka. Ketika ide-ide liberal mulai merusak tatanan pemikiran agama melalui lembaga pendidikan, sudah seharusnya Kementrian Agama menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh pemikiran asing yang akan mendistorsi ajaran-ajaran agama. Dan ketiga LGBT menjadi ancaman anak bangsa, sudah seharusnya Kementrian Agama menjaga umat ini melalui upaya-upaya konstitusional sebagai wakil negara dalam mewujudkan maqâshid al-Syarîah (tujuan dan cita-cita agama) menuju baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafûr (negeri yang makmur dan diampuni Allah). Semoga HAB Kementiran Agama tahun ini menjadi momentum untuk mewujudkan “Harapan Anak Bangsa.”

Wallahu A’lam.

Disqus Comments