4 Nov 2015

Al-Maidah ayat 51: Panduan Politik bagi Pemimpin dan Rakyat


Di dunia ini pasti tidak ada satu pun orang tua yang tega menjerumuskan anaknya untuk binasa. Setiap orang tua pasti akan mendidik, membimbing dan mengarahkan anaknya dengan petunjuk yang benar. Itulah wujud cinta dan kasih sayang orang tua kepada anaknya. Keadaan demikian tidak jauh berbeda dengan seorang dokter ketika memberi obat kepada pasien, pasti sang dokter akan memberikan obat yang terbaik sebagai upaya maksimal untuk menyembuhkan pasiennya.

Allah swt. sebagai al-khâliq, pasti menurunkan al-Quran sebagai petunjuk (hud[an]) dan cahaya (nûr[an]) bagi manusia. Sudah seharusnya sikap seorang mukmin ketika membaca al-Qur’an meyakininya sebagai petunjuk hidup yang pasti akan menunjukkan jalan kehidupan dunia menuju akhirat nanti dengan selamat. Seorang mu’min harus meyakini bahwa setiap ayat al-Quran memancarkan cahaya kebenaran yang menerangi gelapnya kehidupan manusia. Itulah bentuk kasih sayang sang pencipta kepada makhluknya. Seorang yang beriman kepada Allah SWT pasti memahami betul kasih sayang itu dengan cara membaca, menghayati dan mengaamalkan dalam setiap denyut nadi kehidupan.

Setiap ayat al-Qur’an akan dijadikan tolok ukur dalam berkata, bertindak dan menentukan pilihan hidup pada setiap dimensi kehidupan; baik dalam dimensi politik, ekonomi, sosial-budaya dan dimensi yang lainnya. Ajaran Islam memandu umatnya dengan ajaran yang bersifat komprehensif.

Karenanya Islam tidak pernah memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat; antara negara dan agama. karena itu politik merupakan bagian integral dari ajaran islam. Politik dalam Islam adalah mengurusi urusan-urusan umat (riayaah syu`ûn al-ummah). Politik dalam Islam merupakan konsep yang tidak dapat dipisahkan dari akidah, dengan demikian sikap politik seorang muslim merupakan wujud nyata cerminan akidahnya.

Salah satu panduan teologis yang mesti dijadikan tolok ukur oleh pemimpin dan rakyat adalah al-Quran surat Al-Ma’idah : 51

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang yahudi dan nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa diantara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Ada empat pendekatan dalam prespektif ilmu ushul fiqih dalam memahami petunjuk ayat ini;
(1) pendekatan lafazh/teks (‘ibarah al-nash), 
(2) pendekatan makna (‘isyarah al-nash), 
(3) pendekatan esensi makna/maqashid (dilalah al-nash), 
(4) pendekatan makna tersirat dibalik teks (iqtidha).

1. Pendekatan lafazh/teks (‘ibarah al-nash)

secara pendekatan tekstual ayat ini menunjukkan dua makna yaitu makna primer (al-ashly) dan makna sekunder (al-tab’i). Ma’na primer (ashly) dalam ayat tersebut Allah Swt. melarangan kepada kaum mu’min memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nashrani. Laragan tegas terseut diikuti ancaman jika seorang mukmin mengangkat pemimpin yahudi dan nashrani maka dia sama dengan mereka. Sedangkan makna sekunder (tab’iy) ayat ini adalah, kaum mukmin diharamkan mendukung dan memilih sistem yang akan memberikan jalan dan peluang bagi orang yahudi dan nashrani naik menjadi pemimpin, maka unuk menyumbat peluang (sadd al-dzarî’ah) agar orang yahudi dan nashrani tidak berpeluang menjadi pemimpin kaum muslimin maka orang beriman diharamkan memilih dan mendukung sistem yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin dari Yahudi dan Nashrani.

2. pendekatan lafazh/teks (‘ibarah al-nash)

Ayat ini sebagai larangan kepada kaum mukmin memilih pemimpin yang tidak punya otoritas independen (mustaqil) artinya kaum mukmin diharamkan mengangkat pemimpin sekalipun dia beragama Islam, namun kekuasaannya dikendalikan oleh orang yahudi dan nasrani bahkan kepemimpinannya sebagai komprador (‘umalâ) kaum kafir.

3. Pendekatan esensi makna/maqashid (dilalah al-nash)
Pemimpin dari golongan kaum mu’min dengan sistem Islam sajalah yang akan melahirkan kehidupan baldatun, thayyibat [un] wa rabb al-ghafur yang akan terwujud nyata bukan haya sebatas slogan dan retorika saja sepertia dalam sistem demokrasi sebab sistem pemerintahan Islam secara historis telah membutikan pernah mengalami kejayaan dan menguasai dua pertiga dunia dengan peradan yang mulia.

4. Pendekatan makna tersirat dibalik teks (iqtidha)
Tidak boleh menjadikan orang yahudi dan nashrani sebagai pelindung dalam semua aspek kehidupan juga tidak boleh menjadikan mereka sebagai teman dekat (bithanah), dan terakhir tidak boleh memberikan jalan kepada mereka untuk menguasai kaum muslim. Semoga kita dapat mengambil petunjuk dari ayat ini, Allah berfirman dalam QS. Al-Isra: 9

Artinya, “ sungguh, al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” 

Wallahu a’lam bi al-shawwab.


Ditulis oleh: H. Azi Ahmad Tadjudin
(Kepala Program Kulliyyatul Muallimin al-Islamiyyah Pon-Pes Islam Uswatun Hasanah Purwakarta – Jawa Barat; Mahasiswa Program Doktor (S-3) Hukum Islam UIN Bandung; Pengasuh Rubrik “Konsultasi Syariah” di islampos)

Sumber: Islampos, dengan sedikit pengubahan
Disqus Comments